Ayam Poddu
Facebook
Twitter
WhatsApp

Waikabubak 10 Nopember 2020,

Ayam jantan menempati posisi pertama dalam rangkaian ritual orang Sumba, kemungkinan karena harganya yang murah dan dengan demikian dapat dijangkau semua kalangan. Setiap kali rato berdoa untuk berbagai keperluan, seperti saat Wulla Poddu, akan memulai pekerjaan membangun rumah, dan sebagainya, selalu ada ayam jantan merah yang harus disembelih. Bulu-bulu ayam jantan merah yang disembelih ducabut dan diletakkan di salah satu bagian rumah sebagai persenbahan kepada roh nenek moyang agar melindungi mereka. Tidak hanya itu, usus ayam juga diperiksa oleh rato seperti halnya hati babi untuk meramalkan kejadian-kejadian mendatang. Jika usus  ayam tersebut tidak ada tanda merah, bintik atau benjolan maka kehidupan di masa mendatang diyakini tidak ada halangan, namun jika terdapat hal-hal ini maka diyakini akan nada halangan. Selain sebagai medium untuk peramalan dan persembahan, ayam, yang tentunya ayam kampung, juga merupakan utama dalam cara besar seperti Wulla Poddu.

Perayaan Wulla Poddu setiap tahun selalu melibatkan ayam dalam jumlah yang sangat banyak. Setiap rumah adat akan menyembelih beberapa puluh bahkan ratusan ekor ayam untuk acara tersebut sehari sebelum acara puncak. Idealnya ayam yang pakai sebagai santapan dalam acara adat ini adalah yang dipelihara sendiri. Namun keadaan sekarang sudah tidak lagi memungkinkan. Kebanyakan ayam dibeli di pasar. Ayam untuk santapan ini tidak harus berwarna merah, tetapi biasanya disembelih di dalam rumah, ujar Yuliana Leda Tara, salah satu tokoh adat Kampung Tarung yang kebetulan adalah guide senior yang fasih berbahasa Inggris dan Prancis. Yuli mengatakan bahwa jumlah ayam yang dipotong di rumahnya bisa dua sampai tiga kali jumlah orang yang tinggal di rumah. Ada yang dipakai makan bersama di kampung, ada pula yang dibawah pulang keluarga setelah disembelih dan disembanyangkan di rumah adat.

Para peserta Poddu yang datang adalah semua yang bertalian secara keturunan dengan suku-suku di dalam kampung dari berbagai tempat. Poddu terbuka bagi semua orang sehingga yang telah memeluk Kristen atau agama lainpun dapat menggikuti acara ini bahkan menyantap ayam Poddu yang disembelih di rumah adat. Kami diajak oleh Ibu Yuli dan Rato rumah, Ama Sengu, untuk makan ayam bakar di dalam rumah adat. Ayam yang disajikan adalah ayam kampung yang panggang tanpa menggunakan bumbu namun diteman sambal dalam sebuah mangkuk kecil. Kami dan Rato Sengu mendapat dua bagian yang cukup besar untuk dimakan bersama nasi. Suasa akrab dalam rumah sangat terasa saat kami berdiskusi dengan Rato Sengu di tengah-tengah banyak angota keluarga yang datang.

Wulla Poddu adalah perayaan tahunan masyarakat asli Sumba Barat berkaitan erat dengan kepercayaan asli Merapu. Wulla Poddu, atau secara harafiah, bulan pahit, adalah bulan keramat, bulan pemali, bulan suci, atau bulan sakral  dalam kurun waktu mana masyarakat setempat menjalani sejumlah pantangan, antara lain larangan pesta, menabuh gong dan tambur, upacara kawin mawin, berhubungan seks dengan istri bagi para rato. Ritual ini dipercaya sebagai cara menjaga keharmonisan hidup manusia dengan leluhur, alam, dan hewan, fase pembersihan diri, memohon keberkatan hidup sekaligus sebagai sebuah bentuk rasa syukur.

Poddu diselenggarakan di 22 kampung adat di Sumba barat saat ini, ujar Kabid Kebudayaan, Dinas Pariwisata dan Kebudaan Kabupaten Sumba Barat, Lodwyk Bolo Ate. Namun Pemda baru bisa membantu menfasilitas kegiatan in dengan anggaran Rp 10,000,000 untuk 19 kampung adat. Diharapkan di tahun-tahun mendatang semua kampung penyelenggara mendapatkan bantuan ini. Kampung penyelenggara Poddu di Sumba Barat antara lain Umbu Koba, Tambera, Bodo Maroto, Tarung, Kadoku, Sodana, dan Ombarade. Terdapat perbedaan waktu perayaan di lokasi-lokasi tersebut. Namun pada umumnya, ritual ini diadakan pada akhir tahun sekitar bulan Oktober hingga Desember. Pelaku ritual adalah perwakilan pemangku adat masing-masing suku, pemimpin daerah setempat dan masyarakatnya secara umum.

Pada intinya Wulla Poddu adalah perayaan pembebasan dari segala dosa pribadi, keluarga dan dosa  komunitas.  Ritual  Wulla Poddu dimulai dengan Tauna Marapu, yaiyu penyampaian para rato kepada seluruh warga  khususnya warga marapu bahwa Wulla Poddu sudah dimulai. Itu berarti seluruh wilayah masuk dalam suasana hening dan sakral.

Ritual Wulla Poddu diperkuat dengan upacara inisiasi seorang laki-laki yang memasuki usia  dewasa. Menurut Yuliana Leda Tara, di kampung Tarung, mereka akan disunat oleh rato pada awal Wulla Poddu dan diutus berpasang-pasang atau berdua keluar dari kampung selama beberapa minggu di luar tinggal selama sebulan di padang atau sawah dan harus mengghidupi diri sendiri dengan buruan kecil seperti ayam dan lain-lain agar dapat bertahan hidup. Di samping itu beberapa kelompok yang jumlahnya bisa sampai seratus per kelompok akan pergi berburu bagi hutan. Tahun ini kelompok berburu dari Kampung Tarung ada yang sampai ke Lewa, Tana Righu, Laura dan Mamboro. Hasil buruan, berjumlah 32 ekor babi hutan tahun ini, dibawa pulang ke kampung adat untuk disampaikan kepada para rato. Ketangkasan berburu menunjukkan kematangan seorang laki-laki yang teruji dan siap memasuki usia  perkawinan. Masa berburu berakhir pada malam puncak Wulla Poddu di mana kelompok yang  Demikian juga yang disunat. Mereka akan kembali bersamaan dengan kelompok

Puncak Wulla Poddu ditandai dengan tiga malam penyucian berturut-turut. Malam pertama adalah malam penyucian bagi para rato. Para rato akan membawa tujuh pinang kering sebagai sarana utama memprediksi kesucian seseorang.

Apabila ada pinang yang berkurang, dapat dipastikan masih ada dosa yang belum diungkapkan. Demikian  pada malam kedua dan ketiga. Pembebasan malam kedua ditunjukan kepada istri para rato. Sedangkan pembebasan malam ketiga ditunjukan kepada anak-anak para rato dan seluruh warga marapu yang datang.

Ritual pembebasn akan dimahkotai dengan tarian di masing-masing pelataran sebagai tanda kemenangan karena telah disucikan. Pada malam terakhir Wulla Poddu pun, para rato akan menyucikan benda-benda keramat milik suku atau kabisu dengan menggunakan santan kelapa. Acara puncak Wulla Poddu akan diakhiri dengan mengantar ‘kawuku’ (tali bersimpul 6 atau 8).
OK – Tim Liputan DKIPS

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top